5 Hukuman yang Terlarang untuk Anak

4
9114

Diantara nilai-nilai yang penting untuk ditanamkan ke dalam diri anak-anak kita adalah nilai-nilai tentang kedisiplinan.

Bila perilaku disiplin ini sudah terbiasa pada diri anak-anak, maka ia akan membentuk karakter baik yang sulit berubah.

Suatu contoh, apabila kita sudah terbiasa mendisiplinkan anak-anak untuk membuang sampah di tempat sampah, maka saat tidak menemukan tempat sampah, mereka tidak akan dengan mudah membuang sampahnya secara sembarangan.

Namun pembentukan karakter disiplin ini tidak bisa dilakukan secara instan. Ada beberapa urutan tahapan yang harus dilalui terlebih dahulu, yaitu Pengenalan, Penerapan, Penegasan dan kemudian Sanksi atau Hukuman.

Sayangnya, diantara tahapan-tahapan di atas, kita (para orangtua) seringkali salah dalam memaknai tahapan Sanksi atau Hukuman.

Banyak diantara kita yang salah dalam mengartikan dan menerapkan hukuman pada anak-anak. Alih-alih membentuk karakter baik pada anak, kesalahan penerapan hukuman ini bisa menjadikan anak lebih buruk dari sebelumnya.

Setidaknya ada 5 jenis hukuman yang seharusnya tidak dilakukan oleh para orangtua, antara lain:

1. Menghukum anak secara fisik

Hukuman fisik sangat dihindari di dalam agama yang mulia ini.

Dalam hal pengajaran sholat, misalnya. Orangtua diharuskan mengajari anak-anak mereka untuk sholat di usia 7 tahun. Jika di usia 10 tahun mereka mulai berani meninggalkan sholat, maka hukuman secara fisik barulah diberlakukan.

Itu pun bukan dimaksudkan untuk menyakiti. Hanya mengingatkan.

Pada prakteknya, jika orangtua benar-benar menerapkan pembelajaran sholat yang baik, secara intens sejak usia anak 7 tahun, maka setelah tiga tahun, pembelajaran sholat tersebut pasti sudah mengakar dan menjadi karakter yang kuat pada diri anak-anak kita. Sehingga kecil kemungkinan mereka akan meninggalkan sholat dan hukuman fisik tidak akan pernah diberlakukan.

2. Menghukum anak dengan doa dan label yang buruk

Selain menghukum dengan hukuman fisik, ada lagi jenis hukuman yang tidak melibatkan fisik namun memiliki dampak yang sama atau bahkan lebih buruk dari hukuman fisik.

Ungkapan-ungkapan seperti “Dasar anak bodoh!”, “Kamu kok nakal sekali sih!!” dan semisalnya adalah label-label yang kita pasangkan pada diri anak-anak ketika.

Ketika si anak mendapatkan label yang buruk, apalagi orangtua mengatakannya dengan nada yang tegas, maka ia akan merasa bahwa memang seperti itulah dirinya.

Maka kemudian si anak akan “menyesuaikan diri” dengan label yang diberikan kepadanya.

3. Menghukum tanpa memahami motif anak

Setelah ibunya berangkat berbelanja, si anak bermaksud memberi sang ibu kejutan dengan cara membersihkan rumah.

Maka kemudian dengan penuh semangat si anak menyapu seluruh lantai dan membuang sampah-sampahnya di halaman depan rumah.

Sang ibu yang baru datang dari berbelanja dan melihat banyak sampah dan kotoran di depan rumah, langsung naik pitam dan memarahi si anak. Si anak yang berharap mendapat ibunya senang dengan hasil usahanya justru harus kecewa karena kemarahan orangtuanya.

Inilah pentingnya memahami motif dan maksud anak. Jangan sampai kita salah memahami maksud anak sehingga kita memberikan hukuman untuk niat baik si anak.

Jika ini terus terjadi maka anak-anak tidak akan mau lagi memiliki niat baik. Dan ini adalah sebuah kegagalan bagi perkembangan mereka.

4. Menghukum anak di tempat umum

Islam, melalui lisan Rasulullah pernah mengisyaratkan bahwa nasehat yang baik adalah jika ia disampaikan secara pribadi. Bukan di depan khalayak umum.

Serupa dengan nasehat, hukuman pun akan lebih efektif jika ia diterapkan secara pribadi.

Anak yang dihukum di depan teman-temannya hanya akan merasa sedang dipermalukan. Rasa malu tersebut akan menghalanginya dari menerima nasehat atau memahami maksud dari hukuman yang kita berikan.

5. Menghukum anak dengan menimbulkan perasaan bersalah berlebihan

Hal lain yang terlarang ketika menghukum anak-anak kita adalah ucapan atau sikap yang merendahkan atau membuat anak merasa bersalah secara berlebihan.

Ucapan-ucapan seperti “Ini semua gara-gara kamu!” atau semisalnya mengindikasikan bahwa penyebab utama adalah diri si anak, bukan perbuatan si anak.

Jika pada diri anak sudah muncul perasaan bersalah yang berlebihan, maka ia akan mulai menutup diri dan merasa tidak ada gunanya ia melakukan sesuatu untuk orang lain.

Cara yang paling baik adalah dengan mengajaknya duduk bersama. Jelaskan dengan lemah lembut apa yang dia lakukan dan akibat yang akan terjadi.

Biarkan dia memahami apa yang sedang terjadi. Sehingga anak akan berpikir bahwa kelak dia tidak boleh lagi mengulangi kesalahan tersebut.

Semoga artikel ini bermanfaat!

4 COMMENTS