Khalifah Umar dan Kisah Orang yang Bersengketa

0
1858

Suatu hari di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, seorang pemuda dibawa menghadap Khalifah oleh dua orang kakak beradik.

“Wahai Amirul Mukminin, kami mau meminta keadilan.” Kata salah seorang dari kakak beradik tadi.

“Kesalahan apa yang telah dilakukannya?” Tanya Khalifah.

“Pemuda ini telah membunuh ayah kami.” Jawab kakak beradik tadi.

Khalifah Umar lalu bertanya kepada si pemuda, “Benarkah demikian?”

“Benar, ya Amirul Mukminin.” Jawab si pemuda.

“Bagaimana itu bisa terjadi?” Tanya Khalifah lagi.

Maka berceritalah pemuda tadi menjelaskan kronologinya.

Seekor unta milik pemuda tersebut menghilang.

Ternyata, unta tersebut masuk ke dalam sebuah kebun dan merusak semua tanamannya.

Sang pemilik kebun yang mengetahui hal itu menjadi gusar dan langsung membunuh unta milik pemuda tadi.

Si pemuda yang melihat untanya telah dibunuh menjadi marah dan kemudian membunuh pemilik kebun itu.

Akhirnya pemuda tersebut dibawa menghadap Khalifah oleh dua orang kakak beradik yang merupakan anak dari pemilik kebun yang dibunuh itu.

Kedua kakak beradik itu berharap agar Khalifah bisa menjatuhkan hukuman qishash kepada si pemuda.

“Baiklah. Beri saya tenggat waktu tiga hari,” Kata Khalifah Umar.

“Setelah tiga hari kalian semua datanglah kembali ke sini.”

“Tapi bagaimana dengan pemuda ini, ya Khalifah. Siapa yang akan menjadi penjaminnya bahwa dia tidak akan melarikan diri?” Tanya salah seorang dari kakak beradik itu.

Saat sahabat-sahabat yang lain terdiam, tiba-tiba sahabat Salman al-Farisi berteriak dari arah belakang,

“Saya yang akan menjaminnya, wahai Amirul Mukminin!”

“Baiklah. Kalau begitu kita bertemu di sini tiga hari lagi.” Kata Khalifah Umar kemudian.

***

Tiga hari kemudian, di tempat yang telah disepakati Khalifah Umar bersama sahabat-sahabat yang lain, termasuk juga sahabat Salman al-Farisi dan dua orang kakak beradik sebagai pelapor telah berkumpul untuk menunggu kedatangan si pemuda.

Namun hingga tengah hari si pemuda belum terlihat muncul.

Para sahabat yang lain mulai terlihat gelisah memikirkan nasib Salman al-Farisi karena sampai waktu Ashar tiba si pemuda belum juga datang.

Akhirnya, menjelang Maghrib si pemuda datang dengan nafas tersengal-sengal.

“Maafkan saya, wahai Amirul Mukminin,” Kata pemuda itu.

“Ada urusan yang mendesak untuk saya selesaikan sehingga saya baru bisa datang sekarang.”

Khalifah Umar bin Khattab tertegun agak lama. Lalu ia bertanya kepada pemuda tersebut.

“Wahai pemuda, apa yang menghalangimu dari melarikan diri? Bukankah engkau sudah ada yang menjamin?”

Pemuda itu kemudian menjawab,

“Ya Amirul Mukminin, saya hanya tidak ingin nantinya akan ada orang yang mengatakan bahwa diantara kaum muslimin sudah tidak ada lagi seorang ksatria yang berani memenuhi janjinya walaupun hukuman mati telah pasti menunggunya.”

Khalifah lalu menoleh kepada Salman al-Farisi.

“Apa yang membuatmu yakin untuk menjadi penjaminnya padahal engkau sama sekali belum mengenalnya?”

Salman al-Farisi menjawab,

“Wahai Amirul Mukminin, saya hanya tidak ingin nantinya akan ada orang yang mengatakan bahwa diantara kaum muslimin sudah tidak ada lagi saling percaya terhadap saudara seimannya.”

Mendengar jawaban yang disampaikan oleh si pemuda dan sahabat Salman al-Farisi, kedua kakak beradik tadi segera mencabut tuntutannya dan memberi maaf kepada pemuda tersebut.

Khalifah Umar yang terheran-heran lalu bertanya kepada keduanya,

“Apa yang menyebabkan kalian memaafkan kesalahan pemuda ini padahal kemarin kalian sangat ingin dijatuhkan qishash atasnya?”

Kedua kakak beradik itupun menjawab,

“Wahai Amirul Mukminin kami hanya tidak ingin nantinya akan ada orang yang mengatakan bahwa diantara kaum muslimin sudah tidak ada lagi kasih sayang dan saling memaafkan sesama mereka.”

Sungguh, sebuah persahabatan yang dibangun atas dasar keimanan jauh lebih indah daripada persahabatan manapun.

*dikutip dari sebuah khutbah Jum’at